Selasa, 09 Oktober 2018

EUTHANASIA TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KEDOKTERAN


Oleh
Inayatilah Ridwan



Kematian adalah suat kepastian bagi setiap makhluk hidup. Namun akhir akhir ini menjadi polemik tersendiri ketika merebaknya beberapa kasus tentang Kematian antara Kematian yang bersifat alamiah dan seakan bersifat keinginan mengakhiri hidupnya dengan beberapa sebab alasan tertentu karena faktor medis yang biasa disebut dengan euthanasia. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beberapa pandangan para Ulama dan dokter memperbolehkan euthanasia pasif (negatif) dan euthanasia aktif.

Kata Kunci : Euthania, hokum Islam



A.      Pendahuluan

Perkembangan moral dan etika ditengah – tengah masyarakat akhir – akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam – macam dan salah satunya adalah Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di Neraka kelak.
Karena hidup dan mati ditangan Tuhan, maka Islam melarang orang melakukan pembunuhan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri . Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan di akhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar Q.S Ali-Imran (Tiap – tiap yang berjiwa akan merasakan mati”). Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu – satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.

B.       Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”[1]. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, Euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya[2].

C.      Macam – Macam
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam Euthanasia, yaitu[3] :
  1. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh dan bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh Euthanasia aktif, misalnya seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
  1. Euthanasia Pasif
Adapun Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara media sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan Euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukukan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh Euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru – paru yang jika di obati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya. Menurut Deklasari Lisabon 1981, Euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yagn tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan Euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien. Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,  tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindakan pidana di negera manapun[4].

D.      Euthanasi Menurut Pandangan Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap Euthanasia, baik Euthanasia aktif maupun Euthanasia pasif.
  1. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan Euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasieun. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil – dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya Firman Allah SWT :
“....Dan jangalah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am : 151)
“....Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)...” (QS. An-Nisaa’ :92)
“....Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’ : 29)[5].
Dari dalil – dalil diatas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan Euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk kedalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindakan pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukab Euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh Pemerintah Islam (Khalifah), sesuai dengan firman Allah:
“....Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang – orang yang dibunuh”. (QS. Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/ menyedekahkan. Firman Allah SWT :
“... maka barangsiapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara baik (pula)”. (QS. Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa’i[6]. Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 10000 dinar, atau senilai 4250 gram emas ( 1 dinar = 4,25 gram emas ), atau 12.000 dirham, atau senilai 35700 gram perak ( 1 dirham = 2,975 gram perak ).
Tidak dapat diterima, alasan Euthanasia aktif yang sering dikemukakannya itu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek – aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan Euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu”. (HR. Bukhari dan Muslim). “Telah ada diantara orang – orang sebelum kamu seorang laki – laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti – henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman: Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku matikan. Aku mengharamkan surga untuknya”. (HR. Bukhari dan Muslim)[7].
  1. Euthanasia Pasif
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimana hukum menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh? Dalam masalah ini beberapa perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobata, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[8].
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR. Ahmad, dari Anas RA).
Hadits diatas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menujukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah Ushul : “ Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan”.  Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad diatas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits – hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah diatas tidak bersifat wajib.
Hadits – hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Diataranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap aurataku (saat kambuh). Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”. Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu”. Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar”, lalu dia berkata lagi “Sesungguhnya auratku sering tersingkap (saat ayanku kambuh), maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap”. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR. Bukhari)
Hadits diatas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama diatas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perinah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat – alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat – alat ini hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernafasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat – alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tiak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan pasien, karena organ – organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hukumnya pemasangan alat – alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum Euthanasi pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat – alat bantu pada pasien setelah matinya/ rusaknya organ otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat – alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai pertanggung jawaban mengenai tindakan itu. Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, diisyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, mak wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/ Ulil Amri).

E.       Pandangan Hukum Negara Tentang Euthanasia[9]
  1. Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, Euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death). Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa Euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis – medis lainnya.
Baik menurut sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, Euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969) Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter berpengalaman yang mengalami kasus – kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan Euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

  1. Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah Euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal Euthanasia”. Pasal ini berbunyi “Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh – sungguh, dihukum penjara selama – lamanya 12 Tahun”. Jika dokter membiarkan pasien meninggal dan tidak melakukan suatu tindakan medis (Euthansia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi “barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara....”. Sebaliknya jika dilakukan tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan “barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”.

ANALISIS PENULIS
Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri. Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa Euthanasia itu baik untuk dilakukan karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan.
Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun – tahun dan sangat menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan orang tersebut tidak lagi hidup dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta tolong dokter atau para medis untuk “membunuh”nya, hal itu juga dipicu karena orang lain sudah terlalu menyusahkan keluarganya. Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan diri kita sendiri sebagai “Tuhan” yang dapat menentukan hidup atau matinya orang ini. Pada dasarnya pihak – pihak yang menyetujui Euthanasia dapat dilakukan, beranggapan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Euthanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan Euthanasia adalah ketika suatu keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang –buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau digunakan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita di dunia ini untuk hidup bukan untuk mati. Jadi selama si pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru ingin mengakhiri hidupnya.
Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa diukur dengan nilai apapun. Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika keluarga ingin melakukan Euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup dan mati, dan orang – orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh. Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat – alat medis yang fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa di dukung dengan alat tersebut? Alat – alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk memberikan kematian yang "nyaman". Masalahnya disini adalah dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga.
Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia hams semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan surnpahnya,seorang dokter seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya, dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien

PENUTUP
Berdasarkan hasil pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUFEP didalam masyarakat. Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan.Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya.
Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telandiberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untukmelakukan hal-hal yang tidak bertanggungjawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan cara apapun.Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang yang tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan kematian dan pembunuhan terhadap orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

As'ad, Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu 'in. Kudus.: Menara Kudus. A1-Qur'an dan Terjemahnya. Depag RI.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia Utomo.
Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Yanggo, Chuzaimah .Probkmatika Hukum Islam Kontemporer. 2008. Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Yanggo, Huzaimah Tohido. 2005. Masail Fiqhiyah. Bandung : Angkasa.
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta : PT. Gunung Agung.



[1] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 177
 [2] Hasan, M. Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah – Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hal. 145.
[3] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 178
[4] Ibid, hal. 178
[5] .DR. Yusuf Qordhawi. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia. Hal. 459
[6] Drs. H. Aliy As’ad. 1979.Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Hal. 268
[7] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta : PT. Gunung Agung. Hal. 163
[8] Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gena Insani Press. Hal. 180
[9] Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta : PT. Gunung Agung. Hal. 165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar