Oleh
Inayatilah Ridwan
Abstrak (Download Jurnal)
Kematian
adalah suat kepastian bagi setiap makhluk hidup. Namun akhir akhir ini menjadi
polemik tersendiri ketika merebaknya beberapa kasus tentang Kematian antara
Kematian yang bersifat alamiah dan seakan bersifat keinginan mengakhiri
hidupnya dengan beberapa sebab alasan tertentu karena faktor medis yang biasa
disebut dengan euthanasia. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beberapa
pandangan para Ulama dan dokter memperbolehkan euthanasia pasif (negatif) dan
euthanasia aktif.
Kata Kunci : Euthania, hokum Islam
A.
Pendahuluan
Perkembangan moral dan etika ditengah – tengah
masyarakat akhir – akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja,
perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir
dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika
yang terjadi di masyarakat bermacam – macam dan salah satunya adalah
Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat
kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan
menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra. Di dalam Al-Qur’an Surat
Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia
ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan.
Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia
sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi
keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, Islam menetapkan berbagai norma
hukum perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia
berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir,
ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun
hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di Neraka kelak.
Karena hidup dan mati ditangan Tuhan, maka
Islam melarang orang melakukan pembunuhan terhadap orang lain maupun terhadap
dirinya sendiri . Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, dan di akhiri dengan kematian. Dari berbagai
siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri yang sangat besar Q.S Ali-Imran (Tiap – tiap yang berjiwa akan
merasakan mati”). Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar,
dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu – satunya jawaban tersedia
di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia
ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda
sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.
B.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang
berarti “kematian”[1].
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu
ar-rahma atau taysir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, Euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya[2].
C.
Macam – Macam
Dalam praktik kedokteran,
dikenal dua macam Euthanasia, yaitu[3] :
- Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat
parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh dan bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah. Contoh Euthanasia aktif, misalnya seseorang menderita kanker ganas
dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam
hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)
yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
- Euthanasia Pasif
Adapun Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter
menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara media
sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti
mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena
keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk
pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan
Euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien
yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukukan
dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu
lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh Euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang
sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan
pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan
penyakit paru – paru yang jika di obati maka dapat mematikan penderita. Dalam
kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat
mempercepat kematiannya. Menurut Deklasari Lisabon 1981, Euthanasia dari sudut
kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yagn
tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan
Euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama,
dokter terikat dengan kode etik bahwa ia dituntut membantu meringankan
penderitaan pasien. Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindakan pidana di negera manapun[4].
D.
Euthanasi Menurut
Pandangan Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu
mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi
syariah terhadap Euthanasia, baik Euthanasia aktif maupun Euthanasia pasif.
- Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan Euthanasia aktif, karena
termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasieun. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya. Dalil – dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa
orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya Firman Allah SWT :
“....Dan jangalah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am : 151)
“....Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang
mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)...” (QS. An-Nisaa’ :92)
“....Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’ : 29)[5].
Dari dalil – dalil diatas, jelaslah bahwa haram
hukumnya bagi dokter melakukan Euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk
kedalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad) yang merupakan tindakan pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter
yang melakukab Euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh Pemerintah Islam (Khalifah), sesuai dengan firman Allah:
“....Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang – orang yang dibunuh”. (QS. Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai
dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/ menyedekahkan.
Firman Allah SWT :
“... maka barangsiapa yang mendapatkan suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara baik (pula)”. (QS. Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor
unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa’i[6]. Jika
dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya
adalah 10000 dinar, atau senilai 4250 gram emas ( 1 dinar = 4,25 gram emas ),
atau 12.000 dirham, atau senilai 35700 gram perak ( 1 dirham = 2,975 gram perak
).
Tidak dapat diterima, alasan Euthanasia aktif
yang sering dikemukakannya itu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga
kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek – aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
Euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
menimpanya itu”. (HR. Bukhari dan Muslim). “Telah ada diantara orang – orang
sebelum kamu seorang laki – laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia.
Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian
tidak berhenti – henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman:
Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku matikan. Aku mengharamkan
surga untuknya”. (HR. Bukhari dan Muslim)[7].
- Euthanasia Pasif
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan
berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya
lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat
pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimana hukum menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah,
atau makruh? Dalam masalah ini beberapa perbedaan pendapat. Menurut jumhur
ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobata, seperti kalangan ulama Syafiiyah
dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[8].
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama
adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah
kalian!” (HR. Ahmad, dari Anas RA).
Hadits diatas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan
untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menujukkan
kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai
kaidah Ushul : “ Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan”. Jadi, hadits riwayat Imam
Ahmad diatas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu
indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits – hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah diatas tidak bersifat
wajib.
Hadits – hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Diataranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap aurataku (saat kambuh).
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”. Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau,
kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada
Allah agar Dia menyembuhkanmu”. Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan
bersabar”, lalu dia berkata lagi “Sesungguhnya auratku sering tersingkap (saat
ayanku kambuh), maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap”.
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR. Bukhari)
Hadits diatas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika
hadits ini digabungkan dengan hadits pertama diatas yang memerintahkan berobat,
maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat
adalah perintah sunnah, bukan perinah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat
adalah sunnah hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat – alat
bantu bagi pasien. Jika memasang alat – alat ini hukumnya sunnah, maka jika
para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka
para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernafasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat – alat bantu
tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tiak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan pasien, karena
organ – organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hukumnya pemasangan
alat – alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas
berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum Euthanasi pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat – alat bantu pada pasien setelah
matinya/ rusaknya organ otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat – alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai pertanggung jawaban mengenai
tindakan itu. Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, diisyaratkan adanya
izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk
untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau
washi, mak wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/ Ulil Amri).
E.
Pandangan Hukum Negara
Tentang Euthanasia[9]
- Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, Euthanasia merupakan sebuah
dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit.
Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita.
Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau
pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy
killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death). Selain tanggung jawab
medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya
terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa
Euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis –
medis lainnya.
Baik menurut sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran,
Euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)
Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran,
dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut
pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama
sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya
masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter berpengalaman
yang mengalami kasus – kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan
setelah diadakan konsultasi dengan dokter berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan Euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien.
- Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah Euthanasia
melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal
Euthanasia”. Pasal ini berbunyi “Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan
sungguh – sungguh, dihukum penjara selama – lamanya 12 Tahun”. Jika dokter
membiarkan pasien meninggal dan tidak melakukan suatu tindakan medis (Euthansia
pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 304 KUHP. Pasal tersebut
berbunyi “barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara....”. Sebaliknya jika dilakukan tindakan medis
lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa
orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan “barang siapa sengaja mendorong
orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi
sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau
orang itu jadi bunuh diri”.
ANALISIS PENULIS
Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari
perspektif dan etika Islam karena hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup
manusia sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan kematiannya sendiri,
sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia
pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk menentukan dan
mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri. Sering banyak orang
menjadi salah persepsi bahwa Euthanasia itu baik untuk dilakukan karena
merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru,
sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia saling mengasihi bila pada
akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka
kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan.
Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun –
tahun dan sangat menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat
mengambil keputusan orang tersebut tidak lagi hidup dalam kondisi yang
menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta tolong
dokter atau para medis untuk “membunuh”nya, hal itu juga dipicu karena orang
lain sudah terlalu menyusahkan keluarganya. Jika kita memang berpikir dan
melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan diri kita sendiri
sebagai “Tuhan” yang dapat menentukan hidup atau matinya orang ini. Pada
dasarnya pihak – pihak yang menyetujui Euthanasia dapat dilakukan, beranggapan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya
dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu
alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk
sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera
diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak
yang mendukung Euthanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia
tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati
adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan
Euthanasia adalah ketika suatu keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam
membayar biaya perawatan untuk si penderita dan membiarkannya hidup hanyalah
membuang –buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh
sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena
kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal
dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan
musnah karena dipakai atau digunakan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan
kita di dunia ini untuk hidup bukan untuk mati. Jadi selama si pasien masih
memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru ingin mengakhiri
hidupnya.
Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa
diukur dengan nilai apapun. Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak
ada harapan lagi tersebut sebenarnya tidak pernah ingin menghadapi situasi
seperti itu, dan ketika keluarga ingin melakukan Euthanasia, maka keputusan ini
hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena ketika ia
diperhadapkan pada pilihan hidup dan mati, dan orang – orang sekitarnya lebih
ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga
dan kondisinya akan semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang
merasa kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi
hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh. Euthanasia ini
dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat – alat medis yang fungsinya
menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut
harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa di dukung dengan alat
tersebut? Alat – alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan
itu sama saja dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas
selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai
birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika
administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan
euthanasia, karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar
tidak merasakan sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah
sakit, bukanlah bertujuan untuk memberikan kematian yang "nyaman".
Masalahnya disini adalah dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum
pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan
dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga.
Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah
Indonesia hams semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat pada pasal
304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum
selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya,
administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu
praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan
permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat
menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut sama dengan
bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban
penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja
hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran kehidupan tanpa
sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan.
Sesuai dengan surnpahnya,seorang dokter seharusnya berusaha untuk
mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya, dalam kode
etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan
kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup,
tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien
PENUTUP
Berdasarkan hasil
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan
didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut
melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUFEP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki
hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma
yang tidak berpengharapan.Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu
diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan
tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu
orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian
sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya.
Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat
bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telandiberikan akal dan budi agar
mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan
kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang
telah diberikanNya kepada kita untukmelakukan hal-hal yang tidak
bertanggungjawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh
orang dengan cara apapun.Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki
Critical Thinking, kita perlu menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita
menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang yang tidak beragama dan tidak
memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan kematian dan pembunuhan
terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
As'ad, Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu 'in. Kudus.:
Menara Kudus. A1-Qur'an dan Terjemahnya. Depag RI.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada
Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta.
Era Intermedia Utomo.
Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas
Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Yanggo, Chuzaimah .Probkmatika Hukum Islam
Kontemporer. 2008. Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Yanggo, Huzaimah Tohido. 2005. Masail Fiqhiyah. Bandung : Angkasa.
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta :
PT. Gunung Agung.
[1]
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual
Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 177
[3]
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual
Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 178
[4]
Ibid, hal. 178
[5]
.DR. Yusuf Qordhawi. 2003. Halal Haram
dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia. Hal. 459
[6]
Drs. H. Aliy As’ad. 1979.Tarjamah Fathul
Mu’in. Kudus. Hal. 268
[7]
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta
: PT. Gunung Agung. Hal. 163
[8]
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual
Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gena Insani Press. Hal. 180
[9]
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta
: PT. Gunung Agung. Hal. 165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar